Senin, 07 Juli 2014

MELIHAT WAJAH ALLOH DI SURGA


Top of Form
ÇÌÎÈ
35. mereka di dalamnya memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi Kami ada tambahannya.
( AL-QOF : 35 )




Bottom of Form
Salah satu ideologi dan prinsip dasar Ahlus sunnah wal jama’ah yang tercantum dalam kitab-kitab aqidah para ulama salaf, adalah kewajiban mengimani bahwa kaum mu’minin akan melihat wajah Allah Ta’ala yang maha mulia di akhirat nanti, sebagai balasan keimanan dan keyakinan mereka yang benar kepada Allah Ta’ala sewaktu di dunia.

Imam Ahmad bin Hambal, Imam Ahlus sunnah wal jama’ah di zamannya, menegaskan ideologi Ahlus sunnah yang agung ini dalam ucapan beliau, “(Termasuk prinsip-prinsip dasar Ahlus sunnah adalah kewajiban) mengimani (bahwa kaum mu’minin) akan melihat (wajah Allah Ta’alayang maha mulia) pada hari kiamat, sebagaimana yang diriwayatkan dari Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits-hadits yang shahih”[1].
Imam Ismail bin Yahya al-Muzani berkata[2], “Penghuni surga pada hari kiamat akan melihat (wajah) Rabb (Tuhan) mereka (Allah Ta’ala),
sebagaimana yang ditegaskan dalam kitabullah (al-Qur’an):
{وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ. إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ}
Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabbnyalah mereka melihat” (QS Al-Qiyaamah:22-23).



DALIL BAHWA ORANG BERIMAN AKAN MELIHAT WAJAH ALLOH DI SURGA
1- Firman Allah Ta’ala,
{وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ، إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ}
Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri (indah). Kepada Rabbnyalah mereka melihat” (QS al-Qiyaamah:22-23)
2- Firman Allah Ta’ala,
{لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ وَلا يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ قَتَرٌ وَلا ذِلَّةٌ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ}
Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat wajah Allah Ta’ala). Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula) kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya” (QS Yunus:26).
Arti “tambahan” dalam ayat ini ditafsirkan langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallamdalam hadits yang shahih, yaitu kenikmatan melihat wajah Allah Ta’ala, [8].
Dalam hadits yang shahih dari seorang sahabat yang mulia, Shuhaib bin Sinan radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika penghuni surga telah masuk surga, AllahTa’ala Berfirman: “Apakah kalian (wahai penghuni surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari kenikmatan surga)? Maka mereka menjawab: Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami? Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami dari (azab) neraka? Maka (pada waktu itu) Allah Membuka hijab (yang menutupi wajah-Nya Yang Maha Mulia), dan penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu (kenikmatan) yang lebih mereka sukai daripada melihat (wajah) Allah Ta’ala”.
Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat tersebut di atas[9].
Bahkan dalam hadits ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa kenikmatan melihat wajah Allah Ta’ala adalah kenikmatan yang paling mulia dan agung serta melebihi kenikmatan-kenikmatan di surga lainnya[10].
Imam Ibnu Katsir berkata, ”(Kenikmatan) yang paling agung dan tinggi (yang melebihi semua) kenikmatan di surga adalah memandang wajah Allah yang maha mulia, karena inilah “tambahan” yang paling agung (melebihi) semua (kenikmatan) yang Allah berikan kepada para penghuni surga.





Imam Ibnu Qayyim Al Jauziyyah dalam kitab
 “Ighaatsatul lahafaan”
menjelaskan bahwa  berdasarkan lafazh do’a Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam 
As-aluka ladzdzatan nazhori ila wajhik,
wasy-syauqo ilaa liqo'ik]
“Aku meminta kepada-Mu (ya Allah)
kenikmatan memandang wajah-Mu
dan aku meminta kepada-Mu
kerinduan untuk bertemu dengan-Mu

3- Firman Allah Ta’ala,
{لَهُمْ مَا يَشَاءُونَ فِيهَا وَلَدَيْنَا مَزِيدٌ}
Mereka di dalamnya (surga) memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi Kami (ada) tambahannya (melihat wajah Allah Ta’ala)” (QS Qaaf:35).

diriwayatkan oleh Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullahshallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 “Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian (AllahTa’ala pada hari kiamat nanti) sebagaimana kalian melihat bulan purnama (dengan jelas), dan kalian tidak akan berdesak-desakan dalam waktu melihat-Nya…”

Kota Kendari, 12 Rabi’ul awwal 1431 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni, MA

[1] Kitab “Ushuulus sunnah” (hal. 23, cet. Daarul manaar, Arab Saudi).
[2] Beliau adalah imam besar, ahli fikih dan murid senior imam asy-Syafi’i (wafat  264 H). Biografi beliau dalam kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’” (12/493).
[3] Kitab “Syarhus sunnah” tulisan al-Muzani (hal. 82, cet. Maktabatul gurabaa’ al-atsariyyah, Madinah).
[4] Beliau adalah Ahmad bin Muhammad bin Salaamah, imam besar dan penghafal hadits Rasulullah r (wafat  321 H). Biografi beliau dalam kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’” (27/15).
[5] Kitab “Syarhul aqiidatith thahaawiyyah” (hal. 188-189, cet. Ad-Daarul Islaami, Yordania).
[6] Lihat keterangan syaikh al-‘Utsaimin dalam kitab  “syarhul ‘aqiidatil waashithiyyah” (1/448).
[7] Lihat keterangan syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal.899).
[8] Lihat kitab  “syarhul ‘aqiidatil waashithiyyah” (1/452).
[9] HSR Muslim dalam “Shahih Muslim” (no. 181).
[10] Lihat kitab  “syarhul ‘aqiidatil waashithiyyah” (1/453).
[11] Kitab  “Tafsir Ibnu Katsir” (4/262).
[12] Hal. 70-71 dan hal. 79 (Mawaaridul amaan, cet. Daar Ibnil Jauzi, Ad Dammaam, 1415 H).
[13] HR An Nasa-i dalam “As Sunan” (3/54 dan 3/55), Imam Ahmad dalam “Al Musnad” (4/264), Ibnu Hibban dalam “Shahihnya” (no. 1971) dan Al Hakim dalam “Al Mustadrak” (no. 1900), dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Al Hakim, disepakati oleh Adz Dzahabi dan Syaikh Al Albani dalam “Zhilaalul jannah fii takhriijis sunnah” (no. 424).
[14] Dinukil oleh Ibnul Qayyim dalam “Haadil arwaah” (hal. 201) dan Ibnu Katsir dalam tafsir beliau (8/351).
[15] Kitab  “Tafsir Ibnu Katsir” (8/279).
[16] HSR al-Bukhari (no. 529) dan Muslim (no. 633).
[17] Lihat keterangan syaikh al-‘Utsaimin dalam kitab  “syarhul ‘aqiidatil waashithiyyah” (1/457).
[18] Lihat kitab  “Tafsir Ibnu Katsir” (3/469) dan “syarhul ‘aqiidatil waashithiyyah” (1/455).
[19] Dinukil oleh syaikh al-‘Utsaimin kitab “syarhul ‘aqiidatil waashithiyyah” (1/456).
[20] Lihat kitab  “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 302) dan “syarhul ‘aqiidatil waashithiyyah” (1/456).
[21] HSR Muslim (no. 169).
[22] HSR Muslim (no. 291).
[23] HSR Muslim (no. 177).
[24] Lihat kitab  “syarhul ‘aqiidatil waashithiyyah” (1/457).
[25] Tafsir Ibnu Katsir (3l310).
[26] Lihat kitab  “Tafsir Ibnu Katsir” (3l310).
[27] Lihat kitab  “syarhul ‘aqiidatil waashithiyyah” (1/457).
[28] Ibid.
[29] Dinukil oleh imam Ibnu Katsir dalam kitab “An Nihayah fiil fitani wal malaahim” (hal. 127).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar