ÇÌÎÈ
35. mereka di dalamnya memperoleh apa yang
mereka kehendaki; dan pada sisi Kami ada tambahannya.
( AL-QOF : 35 )
Salah satu ideologi
dan prinsip dasar Ahlus sunnah wal jama’ah yang tercantum dalam kitab-kitab
aqidah para ulama salaf, adalah kewajiban mengimani bahwa kaum mu’minin akan
melihat wajah Allah Ta’ala yang maha mulia di akhirat nanti,
sebagai balasan keimanan dan keyakinan mereka yang benar kepada Allah Ta’ala sewaktu
di dunia.
Imam Ahmad bin Hambal,
Imam Ahlus sunnah wal jama’ah di zamannya, menegaskan ideologi Ahlus sunnah
yang agung ini dalam ucapan beliau, “(Termasuk prinsip-prinsip dasar Ahlus
sunnah adalah kewajiban) mengimani (bahwa kaum mu’minin) akan melihat (wajah
Allah Ta’alayang maha mulia) pada hari kiamat, sebagaimana yang
diriwayatkan dari Nabi Muhammadshallallahu ‘alaihi wa sallam dalam
hadits-hadits yang shahih”[1].
Imam Ismail bin Yahya
al-Muzani berkata[2],
“Penghuni surga pada hari kiamat akan melihat (wajah) Rabb (Tuhan)
mereka (Allah Ta’ala),
sebagaimana yang
ditegaskan dalam kitabullah (al-Qur’an):
{وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ. إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ}
“Wajah-wajah
(orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabbnyalah mereka
melihat” (QS Al-Qiyaamah:22-23).
DALIL BAHWA ORANG BERIMAN
AKAN MELIHAT WAJAH ALLOH DI SURGA
1- Firman
Allah Ta’ala,
{وُجُوهٌ يَوْمَئِذٍ نَاضِرَةٌ، إِلَى رَبِّهَا نَاظِرَةٌ}
“Wajah-wajah
(orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri (indah). Kepada Rabbnyalah mereka
melihat” (QS al-Qiyaamah:22-23)
2- Firman Allah Ta’ala,
{لِلَّذِينَ أَحْسَنُوا الْحُسْنَى وَزِيَادَةٌ وَلا يَرْهَقُ وُجُوهَهُمْ
قَتَرٌ وَلا ذِلَّةٌ أُولَئِكَ أَصْحَابُ الْجَنَّةِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ}
“Bagi orang-orang
yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya (melihat
wajah Allah Ta’ala). Dan muka mereka tidak ditutupi debu hitam dan tidak (pula)
kehinaan. Mereka itulah penghuni surga, mereka kekal di dalamnya” (QS
Yunus:26).
Arti “tambahan”
dalam ayat ini ditafsirkan langsung oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallamdalam hadits yang shahih, yaitu kenikmatan melihat wajah Allah Ta’ala,
[8].
Dalam hadits yang
shahih dari seorang sahabat yang mulia, Shuhaib bin Sinan radhiyallahu
‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Jika penghuni surga
telah masuk surga, AllahTa’ala Berfirman: “Apakah kalian (wahai
penghuni surga) menginginkan sesuatu sebagai tambahan (dari kenikmatan surga)?
Maka mereka menjawab: Bukankah Engkau telah memutihkan wajah-wajah kami?
Bukankah Engkau telah memasukkan kami ke dalam surga dan menyelamatkan kami
dari (azab) neraka? Maka (pada waktu itu) Allah Membuka hijab (yang menutupi
wajah-Nya Yang Maha Mulia), dan penghuni surga tidak pernah mendapatkan suatu
(kenikmatan) yang lebih mereka sukai daripada melihat (wajah) Allah Ta’ala”.
Bahkan dalam hadits
ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan bahwa
kenikmatan melihat wajah Allah Ta’ala adalah kenikmatan yang
paling mulia dan agung serta melebihi kenikmatan-kenikmatan di surga lainnya[10].
Imam Ibnu Katsir
berkata, ”(Kenikmatan) yang paling agung dan tinggi (yang melebihi semua)
kenikmatan di surga adalah memandang wajah Allah yang maha mulia, karena inilah
“tambahan” yang paling agung (melebihi) semua (kenikmatan) yang Allah berikan
kepada para penghuni surga.
Imam Ibnu Qayyim Al
Jauziyyah dalam kitab
“Ighaatsatul lahafaan”
menjelaskan bahwa berdasarkan lafazh do’a Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam
As-aluka
ladzdzatan nazhori ila wajhik,
wasy-syauqo
ilaa liqo'ik]
“Aku
meminta kepada-Mu (ya Allah)
kenikmatan
memandang wajah-Mu
dan
aku meminta kepada-Mu
kerinduan
untuk bertemu dengan-Mu
3- Firman
Allah Ta’ala,
{لَهُمْ
مَا يَشَاءُونَ فِيهَا وَلَدَيْنَا مَزِيدٌ}
“Mereka di dalamnya
(surga) memperoleh apa yang mereka kehendaki; dan pada sisi Kami (ada)
tambahannya (melihat wajah Allah Ta’ala)” (QS Qaaf:35).
diriwayatkan oleh
Jarir bin Abdullah radhiyallahu ‘anhu bahwa Rasulullahshallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sesungguhnya kalian akan melihat Rabb kalian
(AllahTa’ala pada hari kiamat nanti) sebagaimana kalian melihat
bulan purnama (dengan jelas), dan kalian tidak akan berdesak-desakan dalam
waktu melihat-Nya…”
Kota Kendari, 12 Rabi’ul awwal 1431 H
Penulis: Ustadz Abdullah bin Taslim
al-Buthoni, MA
[1] Kitab
“Ushuulus sunnah” (hal. 23, cet. Daarul manaar, Arab Saudi).
[2] Beliau
adalah imam besar, ahli fikih dan murid senior imam asy-Syafi’i (wafat
264 H). Biografi beliau dalam kitab “Siyaru a’laamin nubalaa’” (12/493).
[3] Kitab
“Syarhus sunnah” tulisan al-Muzani (hal. 82, cet. Maktabatul gurabaa’
al-atsariyyah, Madinah).
[4] Beliau
adalah Ahmad bin Muhammad bin Salaamah, imam besar dan penghafal hadits
Rasulullah r (wafat 321 H). Biografi beliau dalam kitab “Siyaru a’laamin
nubalaa’” (27/15).
[5] Kitab
“Syarhul aqiidatith thahaawiyyah” (hal. 188-189, cet. Ad-Daarul Islaami,
Yordania).
[6] Lihat
keterangan syaikh al-‘Utsaimin dalam kitab “syarhul ‘aqiidatil
waashithiyyah” (1/448).
[7] Lihat
keterangan syaikh Abdurrahman as-Sa’di dalam kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan”
(hal.899).
[8] Lihat
kitab “syarhul ‘aqiidatil waashithiyyah” (1/452).
[9] HSR
Muslim dalam “Shahih Muslim” (no. 181).
[10] Lihat
kitab “syarhul ‘aqiidatil waashithiyyah” (1/453).
[11] Kitab
“Tafsir Ibnu Katsir” (4/262).
[12] Hal.
70-71 dan hal. 79 (Mawaaridul amaan, cet. Daar Ibnil Jauzi, Ad Dammaam, 1415
H).
[13] HR
An Nasa-i dalam “As Sunan” (3/54 dan 3/55), Imam Ahmad dalam “Al Musnad”
(4/264), Ibnu Hibban dalam “Shahihnya” (no. 1971) dan Al Hakim dalam “Al Mustadrak”
(no. 1900), dishahihkan oleh Ibnu Hibban, Al Hakim, disepakati oleh Adz Dzahabi
dan Syaikh Al Albani dalam “Zhilaalul jannah fii takhriijis sunnah” (no. 424).
[14] Dinukil
oleh Ibnul Qayyim dalam “Haadil arwaah” (hal. 201) dan Ibnu Katsir dalam tafsir
beliau (8/351).
[15] Kitab
“Tafsir Ibnu Katsir” (8/279).
[16] HSR
al-Bukhari (no. 529) dan Muslim (no. 633).
[17] Lihat
keterangan syaikh al-‘Utsaimin dalam kitab “syarhul ‘aqiidatil
waashithiyyah” (1/457).
[18] Lihat
kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3/469) dan “syarhul ‘aqiidatil waashithiyyah”
(1/455).
[19] Dinukil
oleh syaikh al-‘Utsaimin kitab “syarhul ‘aqiidatil waashithiyyah” (1/456).
[20] Lihat
kitab “Taisiirul Kariimir Rahmaan” (hal. 302) dan “syarhul ‘aqiidatil
waashithiyyah” (1/456).
[21] HSR
Muslim (no. 169).
[22] HSR
Muslim (no. 291).
[23] HSR
Muslim (no. 177).
[24] Lihat
kitab “syarhul ‘aqiidatil waashithiyyah” (1/457).
[25] Tafsir
Ibnu Katsir (3l310).
[26] Lihat
kitab “Tafsir Ibnu Katsir” (3l310).
[27] Lihat
kitab “syarhul ‘aqiidatil waashithiyyah” (1/457).
[28] Ibid.
[29] Dinukil
oleh imam Ibnu Katsir dalam kitab “An Nihayah fiil fitani wal malaahim” (hal.
127).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar